SURAT itu sudah tergeletak di meja belajarku ketika aku masuk kamar. Di luar gerimis belum juga reda. Tubuhku basah kuyup. Aku membanting tas ke atas kasur dan segera masuk kamar mandi.
Tubuhku masih terasa lemas meski sudah dikucuri air hangat. Surat itu masih tergeletak. Ketika kubaca sebuah nama sudut amplop, ingin sekali aku segera merobeknya dan membuangnya ke tempat sampah. Ternyata dia belum jera juga.
Sembari duduk di dekat meja komputer, aku masih terheran-heran, mengapa di dunia ini ada manusia yang kelewatan tolol. Ya, surat itu yang membuatku berkali-kali istigfar.
Aku mengenalnya 21 hari yang lalu, ketika aku kesiangan datang ke kampus. Jarak dari jalan raya ke kampus kurang-lebih satu kilometer. Biasanya aku berjalan kaki, namun waktu itu terpaksa menggunakan ojek untuk menghindari “amukan” dosen.
Di pangkalan ojek terdapat lima-enam orang yang sedang menunggu penumpang. Aku tak sempat memilih mana yang lebih cocok, siapa yang cepat, itu yang dapat. Dan yang ketiban rejeki seorang pemuda berjaket hitam.
Sejak pertama naik pun aku sudah sangat kesal. Sepeda motornya bergerak sangat lamban.
“Cepetan sedikit, dong. Aku tergesa-gesa, nih!” kataku.
“Ini sudah kecepatan penuh, Neng!”
“Lain kali jangan bawa motor rongsokan, penumpang bisa rugi!” umpatku sekenanya.
“Maklum atuh, Neng, nggak ada modal. Ini juga motor pinjaman!”
“Ya sudah, cepetan sedikit!”
Lebih gawat lagi, di tengah perjalanan motor itu berhenti. Mogok. Tak bergerak sama sekali. Aku kesal bukan main.
“Sudah, sampai sini saja!” teriakku sambil menyodorkan selembar uang.
“Tak usah dibayar, Neng!”
“Bukankah kamu ngojek untuk mencari uang?” aku menjatuhkan selembar uang lima rebu dan bergegas meninggalkannya.
Ketika aku pulang, dia sudah menunggu di gerbang kampus. Senyumnya membuatku bertambah kesal. Dia mencegatku dan memberikan sepucuk surat.
“Untuk dibaca di rumah!” katanya, kemudian tergesa-gesa menuju sepeda motornya. Sejenak aku termenung sambil memegang amplop. Bukan main malunya, karena ternyata teman-temanku ternyata ikut menjadi pengawas.
“Duh, yang baru dapat surat!” suara tawa di sana-sini membuat mukaku semakin panas.
Semestinya aku membuang surat itu. Tapi tiba-tiba rasa penasaran menghinggapiku. Aku membukanya di kamar. Sebuah tulisan yang sulit dibaca menghiasi kertas kuning. Pusing bukan main ketika mencoba mengamati huruf demi huruf. Selain surat, ada juga selembar uang lima ribu yang terselip di dalam amplop.
Maaf atas kejadian tadi. Sebenarnya aku sangat gugup karena baru kali ini melihat bidadari dari langit. Uang ini aku kembalikan. Mestinya aku sangat membutuhkannya karena aku orang miskin, tapi tidak biasa menerima upah dari pekerjaan yang tak tuntas. Salam. Tukang Ojek.
Cuma itu yang dapat aku baca. Aku segera membuangnya ke tempat sampah. Tak ada urusan, pikirku, banyak hal lain yang lebih penting daripada mengingat surat itu.
Sejak saat itu, dia selalu menunggu di gerbang kampus dan menyodorkan sepucuk surat. Di setiap surat selalu tertulis ke-1, ke-2 dan seterusnya. Surat kedua dan ketiga sempat kubaca, tapi isinya sudah tak kuingat lagi. Yang lainnya selalu kubuang. Aku bahkan hampir menampar dan memaki-makinya.
Aku sangat malu mendapat olokan teman-temanku. Setiap hari dikejar-kejar tukang ojek itu. Aku tak habis pikir karena tiba-tiba dia tahu alamat rumahku. Jika kampus sedang libur, atau ketika aku tidak masuk kelas, dia selalu mengirimkan suratnya ke rumah.
“Sebenarnya maumu apa?” bentakku suatu hari, ketika dia memberikan lagi surat, entah yang keberapa.
“Mauku? Cuma ingin surat itu kau baca!” katanya sembari tersenyum. Dia kelihatan lebih rapi dari biasanya. Memakai kemeja putih, mesti kepalanya selalu memakai helm.
“Aku sudah punya pacar!”
“Tidak kau katakan pun aku sudah mengetahuinya.”
“Lantas?”
“Ya sudah, tugasku hanya memberikan surat itu. Selamat membaca!”
*
SURAT itu masih tergeletak di atas meja. Aku belum membacanya, namun sempat kulihat angka 21 di sudut kanan amplop. Tapi tiba-tiba aku terperangah. Kulihat amplop sudah sedikit terbuka, seperti ada yang menyobeknya.
Dua hari terakhir aku tak melihatnya. Surat ini ia titipkan ke pembantuku. Apakah pembantuku yang telah membukanya?
Dengan tangan gemetar aku mengambil lipat kertas dari dalam amplop. Dan tiba-tiba aku ingin membacanya.
Selamat, kamu telah membaca bagian terakhir dari surat-suratku. Sebuah kisah telah aku tulis selama 21 hari, sebagai hadiah bagi ulang tahunmu yang ke-21. Ya, hari ini umurmu tepat 21 tahun.
Aku menyukaimu sebagai bidadari, tak masalah jika kau kembali lagi ke langit. Di surat yang ke-17, aku pernah mengatakan siapa aku sebenarnya…
Aku termenung. Ulang tahun? Kenapa aku baru mengingatnya? Tiba-tiba sebuah misteri hinggap di kepalaku. Tapi ke mana aku mencari surat-surat yang lainnya?***
(ANNISA WULANDARI)
No comments:
Post a Comment
Jika postingan ini membantu ANDA, maka
TINGGALKAN KOMENTAR DI KOTAK YANG TELLAH DISEDIAKAN