30 May 2012

PERJALANAN (Cerpen)


Kawan, cerita ini berawal dari sebuah desa di perbatasan antara Propinsi Lampung dengan Sumatera Selatan. Sidorahayu satu, yah itulah nama desa itu. Sebuah desa yang mayoritas penduduknya adalah petani kopi. Desa itu sebenarnya masih bagian dari Propinsi lampung Utara, saat itu Kabupaten Waykanan.  Aku masih ingat nama Kabupaten itu, masih terasa baru kemarin rasanya  Aku  meninggalkan Kabupaten itu meski sekarang telah berubah menjadi Kabupaten Buypemaca dan sekarang desa itu bagian dari Propinsi Sumatera selatan yaitu Palembang.
Entah pada tanggal berapa tepatnya Aku lupa. Tapi yang jelas tahun 2003 Aku lulus dari bangku sekolah menengah pertama, dan tahun itu juga Aku pergi jauh dengan waktu yang lama meninggalkan desa itu. Kawan desa itu adalah desa kelahiranku, desa tempat bermain semasa Aku kecil, desa tempatku mengenal hitam dan putih kehidupan. Kini sudah tujuh tahun lamanya Aku meninggalkan desa itu, kerinduan hati tak dapat ku sembunyikan dalam setiap sudut kamar tidurku, atau di langit-langit sempit mimpiku.
Masih ku ingat saat terakhir  Aku  berdiri di depan Ayah Ibuku dan Saudara-saudaraku.  Saat itu pagi, entah hari apa  Aku  lupa. Tapi yang jelas dirumahku penuh dengan hujan airmata. Airmata sang ibu yang akan melepaskan kepergian anaknya ke negeri orang. Negeri yang belum pernah ia tahu sebelumnya.
“kowe mengko nengkono melu sopo to lee, nek mriang piye? Nek ora betah piye?”(kamu nanti di sana ikut siapa anakku?, kalau sakit bagaimana? kalau kamu tidak betah bagaimana?).

Itulah kata-kata ibu yang memberatkan Aku untuk melangkah pergi, sampai-sampai malam itu Aku tidak dapat memjamkan mata oleh karena dalam hatiku bergejolak sejuta keraguan. Keraguan antara berangkat atau tidak berangkat. Sungguh Aku merasa bahwa dunia ini tidak adil, mengapa harus seperti ini rasanya ketika akan berpisah dengan keluarga, begitu sakit, begitu perih, dan begitu sangat mengecewakan.
***

Kawan kini Aku telah sampai di sebuah terminal bus. Terminal yang akan memisahkan Aku dengan segala kenanganku di Sumatera. Suasana terminal saat itu tidak begitu cerah mendung yang seakan ikut merasakan kesedihanku telah menutup matahari yang akan menyinari bumi. Aku masih dilanda galau yang tiada tara, bagai orang  yang linglung dengan himpitan segala suasana kelam.
Setelah selesai tawar menawar tiket Aku duduk di kursi dekat jendela bus yang tanpa AC, ku lemparkan pandangku pada sebuah toko di luar sana, beribu rasa mengganjal dalam hatiku tanpa adanya celah bagiku untuk menghidar darinya. Hampir setengah jam Aku duduk di kursi bus itu tetapi bus itu tidak kunjung melaju dengan keempat rodanya yang usang, semua itu semakin membuatku ingin meloncat kembali dan ku sampaikan pada ibu bahwa Aku tidak jadi pergi.
Setengah jam telah berlalu sopir pun telah duduk di singgasananya yang entah berapa lama ia telah bertahta di sana. Kali ini Aku benar-benar tak mengerti dengan hatiku yang semakin tak ingin melanjutkan langkah ini. Tetapi Aku pun tak melakukan tindakan apapun seakan telah pasrah dengan apa yang akan terjadi nanti.
Kawan, akhirnya bus itu telah benar-benar melaju, suara mesinnya seakan menangis dan tak sanggup mengantarku hingga tepi pelabuhan Bangkauheni, tetapi nampaknya sang sopir ibarat sang raja yang tak mau tahu dengan keadaan itu ia semakin kencang menginjak picu gas hingga mobil bus itu melaju dengan kecepatan yang semakin bertambah.
“Mau kemana dik? tanya seorang lelaki setengah baya yang duduk satu bangku denganku
“ke jawa, mas..” jawabku dengan tidak semangat.
“Jawa Tengah, Timur, Atau Jawa Barat? ia bertanya lagi penasaran.
“Jawa Tengah Mas” jawabku masih dengan tanpa semangat.
Lamunanku jauh terbang tiada arah entah kemana. Jalan yang banyak lubang itu tak dapat mengusikku dalam lamunan jauh. Kini Aku telah sampai ke pelabuhan dan segera bus yang ku tumpangi memasuki pintu kapal ferry yang sangat besar. Ini adalah pengalaman pertamaku menaiki kendaraan laut, yah baru sekali ini dalam hidupku. Di tengah kapal Aku melihat banyak sekali orang – orang berjualan, ada yang jual makanan, minuman, aksesoris, stiker, korek api yang bermacam-macam bentuk dan gaya serta berbagai cendera mata mereka jual. Dalam hatiku sedikit bingung karena Aku merasa seperti di tangah pasar mingguan di kecamatan desaku.  Birunya air laut saat itu membuat sedikit hatiku tenang dan melupakan sejenak desa tercintaku.
 Aku  berdiri menepi, memandang lautan yang begitu luas, begitu biru dan begitu indah kawan. Tiba-tiba datang gerimis menetes di rambutku kemudian wajahku dan sekujur tubuhku. Semua penumpang masuk kedalam kapal termasuk juga  Aku. Aku duduk berjongkok di dinding estalase penjual MIE GELAS berdampingan dengan lelaki paruh baya tadi yang sebangku denganku di bus. Ia menawariku sebatang rokok kretek Djisamsoe namun Aku menolaknya karena memang Aku tidak bernafsu untuk merokok bahkan makan sekalipun, padahal harus ku  Akui bahwa Aku memang lapar, hanya air mineral yang selaluku minum sejak dari terminal tadi, entah  sudah berapa jam Aku tidak makan sejak Aku keluar dari rumah tadi pagi. Sekarang sekitar pukul tiga sore Aku masih bertahan dengan beberapa tegukan air meneral itu.
Ombak laut yang semakin besar seiring hujan yang turun tanpa permisi, kapal bergoyang-goyang Aku merasakan ada sesuatu dalam perutku yang mulai bergerak, meronta dan terus melilit hingga kurasakan mual yang semakin lama semakin membuat ku lemas. Aku tak tahu apa yang akan terjadi pada kapal yang Aku tumpangi ini, ditengah lautan yang luas di hempas ombak dengan hujan yang derasaku semakin khawatir. Ini adalah penyeberangan yang beresiko tinggi, bisa saja kapal itu terguling dan segala isinya tumpah kelautan tenggelam dan menjadi santapan penduduk laut yang mungkin menanti peristiwa itu sejak lama. Tidak ada jaminan seseorang akan selamat jika itu benar-benar terjadi. Jika di presentasikan mungkin enol koma persen saja mereka akan selamat.
Lelaki paruh baya di dekatku pun ikut gusar, karena di depannya tampak seorang nenek yang juga mungkin merasakan apa yang Aku rasakan. Mual dan kepala pusing. Lelaki itu meminta minyak kayu putih yang sejak tadi Aku genggam di tangan yang memang sejak dari rumah telah disiapkan ibuku untuk menjaga kemungkinan hal ini terjadi. Sekali lagi kawan itulah ibuku yang sungguh mulia dan berartinya untuk hidupku.
“boleh saya minta minyak kayu putih itu untuk nenek di depan itu mas?” pinta lelaki paruh baya itu padaku.
“iya tentusaja mas, silakan” sahutku sambil memberikan minyak itu kepadanya.
Belumada tanda-tanda hujan akan berhenti. Selain pusing di kepala dingin pun kini mulai hinggap di sekujur tubuhku. Aku semakin tidak mengerti dengan apa yang akan terjadi, tubuhku semakin tersa ringan seakan kapal itu tidak mampu menahan terpaan ombak sore itu.
Tiba-tiba terdengar suara riuh para penumpang kapal, saat kapal miring kekanan karena hantaman ombak besar dari arah yang berlawanan. Sirene kapal tanda bahaya pun berbunyi semakin menambah suasana yang mencekam, terlihat anak-anak yang terpisah dengan ornag tuanya menangis memanggil-manggil ibu dan ayah mereka, begitupun juga dengan para orang tua yang terpisah dengan anaknya. Para penjual yang tadinya sibuk menawarkan dagangannya kini terlihat kocar kacir menyelamatkan nyawanya. Kapal semakin kehilangan keseimbangan dan semakin miring hingga beberapa benda jatuh ke laut, mobil dan sepeda motor yang terparkir di dak kapal kini mulai berjatuhan sementara para penumpang masih bertahan dengan berpegangan pada besi-besi rangkaian kapal itu. Tetapi beberapa anak kecil dan nenek yang ada di depan ku tadi terlihat jatuh kelaut dengan teriakan kecil minta tolong.
“toloooooooooong......”
“toloooooooooong......”
“toloooooooooong......”
Semua isi kapal seakan tumpah kelaut yang luas itu tidak ada kesempatan bagi mereka yang terjatuh untuk menyelamatkan diri. Semuanya kacau suasana sore itu begitu mengerikan. Sementara Aku pun terjatuh kelaut sudah tentu tubuhku basah kuyup dan dingin yang begitu dingin. Tubuh ku terhempas kesana kemari tiada yang dapat Aku mintai pertolongan semua yang di sekitarku sibuk dengan keselamatan mereka masing-masing.
Tiba-tiba terlintas dalam pikiranku bahwa apa yang dikatakan ibuku bahwa tidak mudah meninggalkan keluarga, meninggalkan desa tercinta, dan karena itulah ibu berat melepas kepergianku. Apakah ini akibat dari Aku yang tidak mendengar kata-kata ibu. Aku semakin teringat pada ibuku Aku berteriak memanggilnya meminta maaf atas semua kesalahanku yang tetap pergi meski ibu berat untuk itu.
Tiba-tiba saja semuanya menjadi hening.... dan kurasakan benda keras membentur kepalaku  kudapati tubuhku basah penuh keringat. Seorang lelaki paruh baya memegang tanganku dan menuntunku untuk berdiri.
“ayo mas sudah sampai palabuhan merak, tadi kamu tertidur bersandar di pundak saya” kata lelaki paruh baya itu kepadaku.
Alhamdulillah kita selamat mas” kataku.
“Ya. Kita selamat sampai tujuan, ini minyak kayu putihmu. Nenek tadi mengembalikannya untukmu, dia bilang terimakasih”.
“haaah.... nenek tadi selamat? Bukankah tadi kapal ini terguling dan nenek itu terjatuh kelaut?” tanyaku masih bingung.
“tadi kamu tertidur mungkin saja kamu bermimpi” kata lelaki itu kepadaku.
Kawan, syukurlah ini semua hanya mimpi. Hatiku lega dan kini Aku bersama lelaki paruh baya itu makan di warung makan pelabuhan merak untuk menghilangkan lapar yang telah lama hinggap di perutku. Tetapi Aku tidak sempat menanyakan siapa nama lelaki paruh baya itu, dan mau kemana tujuan lelaki itu.
*******

No comments:

Post a Comment

Jika postingan ini membantu ANDA, maka
TINGGALKAN KOMENTAR DI KOTAK YANG TELLAH DISEDIAKAN