Kawan,
cerita ini berawal dari sebuah desa di perbatasan antara Propinsi Lampung
dengan Sumatera Selatan. Sidorahayu satu, yah itulah nama desa itu. Sebuah desa
yang mayoritas penduduknya adalah petani kopi. Desa itu sebenarnya masih bagian
dari Propinsi lampung Utara, saat itu Kabupaten Waykanan. Aku masih ingat nama Kabupaten itu, masih
terasa baru kemarin rasanya Aku meninggalkan Kabupaten itu meski sekarang
telah berubah menjadi Kabupaten Buypemaca dan sekarang desa itu bagian dari Propinsi
Sumatera selatan yaitu Palembang.
Entah
pada tanggal berapa tepatnya Aku lupa. Tapi yang jelas tahun 2003 Aku lulus
dari bangku sekolah menengah pertama, dan tahun itu juga Aku pergi jauh dengan
waktu yang lama meninggalkan desa itu. Kawan desa itu adalah desa kelahiranku,
desa tempat bermain semasa Aku kecil, desa tempatku mengenal hitam dan putih
kehidupan. Kini sudah tujuh tahun lamanya Aku meninggalkan desa itu, kerinduan hati
tak dapat ku sembunyikan dalam setiap sudut kamar tidurku, atau di
langit-langit sempit mimpiku.
Masih
ku ingat saat terakhir Aku berdiri di depan Ayah Ibuku dan Saudara-saudaraku.
Saat itu pagi, entah hari apa Aku lupa. Tapi yang jelas dirumahku penuh dengan
hujan airmata. Airmata sang ibu yang akan melepaskan kepergian anaknya ke
negeri orang. Negeri yang belum pernah ia tahu sebelumnya.
“kowe
mengko nengkono melu sopo to lee, nek mriang piye? Nek ora betah piye?”(kamu nanti di sana ikut siapa anakku?, kalau sakit bagaimana? kalau
kamu tidak betah bagaimana?).
Itulah
kata-kata ibu yang memberatkan Aku untuk melangkah pergi, sampai-sampai malam
itu Aku tidak dapat memjamkan mata oleh karena dalam hatiku bergejolak sejuta
keraguan. Keraguan antara berangkat atau tidak berangkat. Sungguh Aku merasa
bahwa dunia ini tidak adil, mengapa harus seperti ini rasanya ketika akan
berpisah dengan keluarga, begitu sakit, begitu perih, dan begitu sangat
mengecewakan.
***
Kawan
kini Aku telah sampai di sebuah terminal bus. Terminal yang akan memisahkan Aku
dengan segala kenanganku di Sumatera. Suasana terminal saat itu tidak begitu
cerah mendung yang seakan ikut merasakan kesedihanku telah menutup matahari
yang akan menyinari bumi. Aku masih dilanda galau yang tiada tara, bagai
orang yang linglung dengan himpitan
segala suasana kelam.
Setelah
selesai tawar menawar tiket Aku duduk di kursi dekat jendela bus yang tanpa AC,
ku lemparkan pandangku pada sebuah toko di luar sana, beribu rasa mengganjal
dalam hatiku tanpa adanya celah bagiku untuk menghidar darinya. Hampir setengah
jam Aku duduk di kursi bus itu tetapi bus itu tidak kunjung melaju dengan
keempat rodanya yang usang, semua itu semakin membuatku ingin meloncat kembali
dan ku sampaikan pada ibu bahwa Aku tidak jadi pergi.
Setengah
jam telah berlalu sopir pun telah duduk di singgasananya yang entah berapa lama
ia telah bertahta di sana. Kali ini Aku benar-benar tak mengerti dengan hatiku
yang semakin tak ingin melanjutkan langkah ini. Tetapi Aku pun tak melakukan
tindakan apapun seakan telah pasrah dengan apa yang akan terjadi nanti.
Kawan,
akhirnya bus itu telah benar-benar melaju, suara mesinnya seakan menangis dan
tak sanggup mengantarku hingga tepi pelabuhan Bangkauheni, tetapi nampaknya
sang sopir ibarat sang raja yang tak mau tahu dengan keadaan itu ia semakin
kencang menginjak picu gas hingga mobil bus itu melaju dengan kecepatan yang
semakin bertambah.
“Mau kemana
dik? tanya seorang lelaki setengah baya yang duduk satu bangku denganku
“ke
jawa, mas..” jawabku dengan tidak semangat.
“Jawa Tengah,
Timur, Atau Jawa Barat? ia bertanya lagi penasaran.
“Jawa
Tengah Mas” jawabku masih dengan tanpa semangat.
Lamunanku
jauh terbang tiada arah entah kemana. Jalan yang banyak lubang itu tak dapat
mengusikku dalam lamunan jauh. Kini Aku telah sampai ke pelabuhan dan segera
bus yang ku tumpangi memasuki pintu kapal ferry yang sangat besar. Ini adalah
pengalaman pertamaku menaiki kendaraan laut, yah baru sekali ini dalam hidupku.
Di tengah kapal Aku melihat banyak sekali orang – orang berjualan, ada yang
jual makanan, minuman, aksesoris, stiker, korek api yang bermacam-macam bentuk
dan gaya serta berbagai cendera mata mereka jual. Dalam hatiku sedikit bingung
karena Aku merasa seperti di tangah pasar mingguan di kecamatan desaku. Birunya air laut saat itu membuat sedikit
hatiku tenang dan melupakan sejenak desa tercintaku.
Aku berdiri menepi, memandang lautan yang begitu
luas, begitu biru dan begitu indah kawan. Tiba-tiba datang gerimis menetes di
rambutku kemudian wajahku dan sekujur tubuhku. Semua penumpang masuk kedalam
kapal termasuk juga Aku. Aku duduk
berjongkok di dinding estalase penjual MIE GELAS berdampingan dengan lelaki
paruh baya tadi yang sebangku denganku di bus. Ia menawariku sebatang rokok
kretek Djisamsoe namun Aku menolaknya karena memang Aku tidak bernafsu untuk
merokok bahkan makan sekalipun, padahal harus ku Akui bahwa Aku memang lapar, hanya air mineral
yang selaluku minum sejak dari terminal tadi, entah sudah berapa jam Aku tidak makan sejak Aku keluar
dari rumah tadi pagi. Sekarang sekitar pukul tiga sore Aku masih bertahan
dengan beberapa tegukan air meneral itu.
Ombak
laut yang semakin besar seiring hujan yang turun tanpa permisi, kapal
bergoyang-goyang Aku merasakan ada sesuatu dalam perutku yang mulai bergerak,
meronta dan terus melilit hingga kurasakan mual yang semakin lama semakin
membuat ku lemas. Aku tak tahu apa yang akan terjadi pada kapal yang Aku tumpangi
ini, ditengah lautan yang luas di hempas ombak dengan hujan yang derasaku semakin
khawatir. Ini adalah penyeberangan yang beresiko tinggi, bisa saja kapal itu
terguling dan segala isinya tumpah kelautan tenggelam dan menjadi santapan
penduduk laut yang mungkin menanti peristiwa itu sejak lama. Tidak ada jaminan
seseorang akan selamat jika itu benar-benar terjadi. Jika di presentasikan
mungkin enol koma persen saja mereka akan selamat.
Lelaki
paruh baya di dekatku pun ikut gusar, karena di depannya tampak seorang nenek
yang juga mungkin merasakan apa yang Aku rasakan. Mual dan kepala pusing.
Lelaki itu meminta minyak kayu putih yang sejak tadi Aku genggam di tangan yang
memang sejak dari rumah telah disiapkan ibuku untuk menjaga kemungkinan hal ini
terjadi. Sekali lagi kawan itulah ibuku yang sungguh mulia dan berartinya untuk
hidupku.
“boleh
saya minta minyak kayu putih itu untuk nenek di depan itu mas?” pinta lelaki
paruh baya itu padaku.
“iya
tentusaja mas, silakan” sahutku sambil memberikan minyak itu kepadanya.
Belumada
tanda-tanda hujan akan berhenti. Selain pusing di kepala dingin pun kini mulai
hinggap di sekujur tubuhku. Aku semakin tidak mengerti dengan apa yang akan
terjadi, tubuhku semakin tersa ringan seakan kapal itu tidak mampu menahan terpaan
ombak sore itu.
Tiba-tiba
terdengar suara riuh para penumpang kapal, saat kapal miring kekanan karena
hantaman ombak besar dari arah yang berlawanan. Sirene kapal tanda bahaya pun
berbunyi semakin menambah suasana yang mencekam, terlihat anak-anak yang
terpisah dengan ornag tuanya menangis memanggil-manggil ibu dan ayah mereka, begitupun
juga dengan para orang tua yang terpisah dengan anaknya. Para penjual yang
tadinya sibuk menawarkan dagangannya kini terlihat kocar kacir menyelamatkan
nyawanya. Kapal semakin kehilangan keseimbangan dan semakin miring hingga
beberapa benda jatuh ke laut, mobil dan sepeda motor yang terparkir di dak
kapal kini mulai berjatuhan sementara para penumpang masih bertahan dengan
berpegangan pada besi-besi rangkaian kapal itu. Tetapi beberapa anak kecil dan
nenek yang ada di depan ku tadi terlihat jatuh kelaut dengan teriakan kecil
minta tolong.
“toloooooooooong......”
“toloooooooooong......”
“toloooooooooong......”
Semua
isi kapal seakan tumpah kelaut yang luas itu tidak ada kesempatan bagi mereka
yang terjatuh untuk menyelamatkan diri. Semuanya kacau suasana sore itu begitu
mengerikan. Sementara Aku pun terjatuh kelaut sudah tentu tubuhku basah kuyup
dan dingin yang begitu dingin. Tubuh ku terhempas kesana kemari tiada yang
dapat Aku mintai pertolongan semua yang di sekitarku sibuk dengan keselamatan
mereka masing-masing.
Tiba-tiba
terlintas dalam pikiranku bahwa apa yang dikatakan ibuku bahwa tidak mudah
meninggalkan keluarga, meninggalkan desa tercinta, dan karena itulah ibu berat
melepas kepergianku. Apakah ini akibat dari Aku yang tidak mendengar kata-kata
ibu. Aku semakin teringat pada ibuku Aku berteriak memanggilnya meminta maaf
atas semua kesalahanku yang tetap pergi meski ibu berat untuk itu.
Tiba-tiba
saja semuanya menjadi hening.... dan kurasakan benda keras membentur kepalaku kudapati tubuhku basah penuh keringat. Seorang
lelaki paruh baya memegang tanganku dan menuntunku untuk berdiri.
“ayo
mas sudah sampai palabuhan merak, tadi kamu tertidur bersandar di pundak saya”
kata lelaki paruh baya itu kepadaku.
“Alhamdulillah kita selamat mas” kataku.
“Ya.
Kita selamat sampai tujuan, ini minyak kayu putihmu. Nenek tadi mengembalikannya
untukmu, dia bilang terimakasih”.
“haaah....
nenek tadi selamat? Bukankah tadi kapal ini terguling dan nenek itu terjatuh
kelaut?” tanyaku masih bingung.
“tadi
kamu tertidur mungkin saja kamu bermimpi” kata lelaki itu kepadaku.
Kawan,
syukurlah ini semua hanya mimpi. Hatiku lega dan kini Aku bersama lelaki paruh
baya itu makan di warung makan pelabuhan merak untuk menghilangkan lapar yang
telah lama hinggap di perutku. Tetapi Aku tidak sempat menanyakan siapa nama
lelaki paruh baya itu, dan mau kemana tujuan lelaki itu.
*******
No comments:
Post a Comment
Jika postingan ini membantu ANDA, maka
TINGGALKAN KOMENTAR DI KOTAK YANG TELLAH DISEDIAKAN