Gundukan tanah itu masih merah dan basah, dengan gunungan mawar yang
terpotong bercampur kenanga dan sedikit melati. Harum bunga-bunga
bercampur wangi khas kamboja. Angin terlipat pada tepi gundukan basah
itu, jika saja kering tentu angin menari bersama sejumput tanah. Ada
seseorang yang terkasih berbaring diam pada tanah yang lembab, wajahnya
sunyi dengan pejam yang abadi. Ia berbaring miring menghadap kiblat
dengan punggung yang bersandar papan kayu
dan berbantal bola tanah yang merah. Ia adalah suamiku. Seseorang yang
bertahun-tahun mendampingiku dalam suka, bahagia, duka, dan lara.
Membesarkan ketiga anak laki-laki kami hingga mereka sarjana, bahkan ada
dua yang lulusan luar negeri. Kebahagiaan duniawi terpampang
menyesakkan dada, melambungkan nama orangtua seperti kami.
Aku sudah merelakan Wijaya pergi. Wijaya, itu nama suamiku. Seseorang
yang sukses dalam bisnisnya, sekaligus sukses insyaAllah dalam
ukhrawinya. Ia memiliki pabrik tekstil nomor dua terbesar di kota kami.
Ia juga mengelola pesantren yang memiliki santri berjumlah ribuan.
Abdullah Wijaya adalah ayah yang hampir tanpa cacat. Ia ikut mendidik
anak-anak dengan pola didik dan motivasi yang tinggi. Ia juga
mendukungku untuk sekolah lagi, ke luar negeri, lalu meneruskan doktoral
di UI. Meski pada awalnya, aku begitu sulit meyakinkan dia bahwa aku
akan bisa membagi waktu untuk karir dan keluarga.
Wijaya adalah suami tanpa cacat. Kecuali setelah hari ini, kematian menjemputnya dalam diabetes yang akut, kutemui seorang perempuan tak kukenal dengan kerudung dan kain yang begitu sederhana, tergugu pada ujung kuburnya. Matanya memerah sembab karena airmata yang tak kunjung henti membasahi pipinya hingga membekas pada kerudungnya.
Siapa?
"Maaf.. siapakah Anda?" tanyaku ketika seluruh takziyah telah pergi kecuali anak-anak laki-lakiku.
Wijaya adalah suami tanpa cacat. Kecuali setelah hari ini, kematian menjemputnya dalam diabetes yang akut, kutemui seorang perempuan tak kukenal dengan kerudung dan kain yang begitu sederhana, tergugu pada ujung kuburnya. Matanya memerah sembab karena airmata yang tak kunjung henti membasahi pipinya hingga membekas pada kerudungnya.
Siapa?
"Maaf.. siapakah Anda?" tanyaku ketika seluruh takziyah telah pergi kecuali anak-anak laki-lakiku.
Perempuan itu mendongakkan kepala, sehingga matanya tepat menghujam pada
mataku. Sejenak kami bertukar energi yang sulit diterjemahkan dalam
kata-kata. Kemudian aku yang terkalahkan sebab perempuan itu begitu
tulus. Kualihkan pandanganku pada kamboja yang berderai sebab angin
memutar batang bunganya kemudian membuatnya terapung indah sebelum
teronggok pada tanah pekuburan yang dingin.
"Saya.. saya.. Sholihah, Bu. Saya" Perempuan itu kembali tergugu. Jemarinya meraup tanah pekuburan suamiku, seperti merasa begitu kehilangan. Hatiku yang perempuan begitu tergetar. Ada rasa aneh menjalari tepi-tepinya, kemudian menghujam memberi nyeri yang tiada tara. Tetapi aku perempuan rasional, aku tidak biasa dengan prasangka. Maka kuhela nafas dalam-dalam dan sedikit mendongakkan dagu untuk menata kembali perasaanku yang tiba-tiba terasa lemah.
"Apakah Anda kerabat suami saya?"
Perempuan itu terdiam.
"Atau Anda adiknya yang tidak pernah diperkenalkan kepada saya barangkali?" desakku tak sabar.
Ketiga anak laki-lakiku telah berkumpul di samping kanan-kiriku. Ketiganya ikut bertanya-tanya walau hanya melalui pandangan mata.
"Saya.. saya.. istri Pak Wijaya," kata-kata lirih, hampir tak terdengar.
"Ha.. apa??"
Kata-kata lirih itu seperti petir yang menggelegar pada hujan lebat yang menyambar-nyambar.
Tubuhku yang gigil sebab kematian Wijaya suamiku, terasa semakin lemas. Kakiku seperti kehilangan kekuatan untuk menopang tubuhku, ada kegelapan yang tiba-tiba menyergap dari segala penjuru.
"Mamah.."
Teriakan si Bungsu yang terakhir kudengar sebelum semuanya gelap.
"Saya.. saya.. Sholihah, Bu. Saya" Perempuan itu kembali tergugu. Jemarinya meraup tanah pekuburan suamiku, seperti merasa begitu kehilangan. Hatiku yang perempuan begitu tergetar. Ada rasa aneh menjalari tepi-tepinya, kemudian menghujam memberi nyeri yang tiada tara. Tetapi aku perempuan rasional, aku tidak biasa dengan prasangka. Maka kuhela nafas dalam-dalam dan sedikit mendongakkan dagu untuk menata kembali perasaanku yang tiba-tiba terasa lemah.
"Apakah Anda kerabat suami saya?"
Perempuan itu terdiam.
"Atau Anda adiknya yang tidak pernah diperkenalkan kepada saya barangkali?" desakku tak sabar.
Ketiga anak laki-lakiku telah berkumpul di samping kanan-kiriku. Ketiganya ikut bertanya-tanya walau hanya melalui pandangan mata.
"Saya.. saya.. istri Pak Wijaya," kata-kata lirih, hampir tak terdengar.
"Ha.. apa??"
Kata-kata lirih itu seperti petir yang menggelegar pada hujan lebat yang menyambar-nyambar.
Tubuhku yang gigil sebab kematian Wijaya suamiku, terasa semakin lemas. Kakiku seperti kehilangan kekuatan untuk menopang tubuhku, ada kegelapan yang tiba-tiba menyergap dari segala penjuru.
"Mamah.."
Teriakan si Bungsu yang terakhir kudengar sebelum semuanya gelap.
* * *
Ketika perlahan kegelapan tersingkap pada pandang mataku, berintik ungu
bercampur keemasan sirna meninggalkan rasa pusing teramat nyeri. Maka
segera kupalingkan pandang mataku pada arah yang lebih terang. Jendela.
Di sana kutemui pemandangan yang menyejukkan, sepotong pelangi tumbuh
pada sudut jendela, lengkungnya membawa damai pada hatiku yang sesak.
"Bu," panggil seseorang di ujung kaki ranjang tempatku berbaring.
Aku menoleh dengan mata yang masih terkerjap, mencoba mengenali suara itu, suara perempuan.
Ketika pupil mataku telah kehilangan serat-serat pendarnya, tercetak jelas pada pandanganku seraut wajah sederhana dengan kerudungnya hijau tua yang membuat kulitnya tampak putih bercahaya, bukan warna hitam seperti ketika ia kutemui di pekuburan. Ada yang kembali memberat pada jiwaku, ada peperangan yang berkecamuk antara rasio dan emosi, masing-masing dengan tentara yang begitu banyak.
"Pergilah," sahutku dengan wajah yang berpaling pada sepotong pelangi di kanvas jendela.
"Baiklah, Bu, saya rasa saya memang terlalu cepat muncul pada kehidupan ibu. Maafkan saya."
Perempuan itu beranjak dengan kepala terhujam pada bumi. Demikian hingga punggungnya lenyap ditelan pintu kamarku.
"Bu," panggil seseorang di ujung kaki ranjang tempatku berbaring.
Aku menoleh dengan mata yang masih terkerjap, mencoba mengenali suara itu, suara perempuan.
Ketika pupil mataku telah kehilangan serat-serat pendarnya, tercetak jelas pada pandanganku seraut wajah sederhana dengan kerudungnya hijau tua yang membuat kulitnya tampak putih bercahaya, bukan warna hitam seperti ketika ia kutemui di pekuburan. Ada yang kembali memberat pada jiwaku, ada peperangan yang berkecamuk antara rasio dan emosi, masing-masing dengan tentara yang begitu banyak.
"Pergilah," sahutku dengan wajah yang berpaling pada sepotong pelangi di kanvas jendela.
"Baiklah, Bu, saya rasa saya memang terlalu cepat muncul pada kehidupan ibu. Maafkan saya."
Perempuan itu beranjak dengan kepala terhujam pada bumi. Demikian hingga punggungnya lenyap ditelan pintu kamarku.
* * *
"Dia perempuan baik-baik, Mara," tutur Han, sahabat dan tangan kanan Wijaya, suamiku.
Aku melengos mendengar kata-katanya.
"Kau pasti ikut menjadi sponsor pernikahan mereka. Aku merasa dikhianati, Han, kenapa setelah sekian tahun mereka menikah, aku dan anak-anak tidak diberitahu? Bahkan setelah dia meninggal!" sengatku.
"Wijaya mencintaimu Mara, teramat sangat"
"Omong kosong, jika memang cinta, mengapa harus membaginya dengan perempuan lain?"
"Justru karena ia mencintaimu dan tidak ingin melukaimu, ia menikahi Sholihah diam-diam."
"Logika macam apa itu Han??" sergahku nyaris terpekik.
"Sholihah perempuan janda yang ditinggal mati suaminya, sebab berjihad saat peristiwa DOM di Aceh. Wijaya bertemu dengannya saat menjemput dana dari Malaysia. Ia sempat mampir ke Aceh untuk memberikan sedikit bantuan. Sholihah begitu sederhana dan pantas untuk ditolong. Ia tidak menuntut apa-apa. Lagipula Wijaya menikahi Sholihah ketika ia sudah berusia lanjut, kenikmatan macam apa yang diharapkan pada pernikahan usia lanjut, kecuali ketentraman?"
"Maksudmu aku tidak bisa mendatangkan ketentraman pada suamiku?" sengatku sekali lagi.
Han mengangkat bahu. Sambil menggeleng-gelengkan kepala ia meninggalkan aku tanpa suara.
Sedikit yang kudengar dari gumamannya: dasar keras kepala.
Aku terdiam dan merenungi kata-kata Han yang terakhir. Ketentraman. Apakah artinya itu bagi suamiku? Apakah beristrikan seorang wanita karir seperti aku mendatangkan ketidaktentraman?
Kapan aku berhandai-handai bersama Wijaya menikmati masa tua? Akhir-akhir ini aku justru sibuk meraih gelar doktorku. Kapan terakhir aku bisa memijit tengkuk suamiku? Rasanya sudah lama sekali aku tidak melakukannya, sejak aku memutuskan untuk bekerja kembali pada sebuah penerbit majalah wanita yang memiliki deadline satu pekan sekali. Aku bahkan tidak sempat menemaninya minum teh pada sore hari sambil duduk-duduk di serambi.
Kemudian kesibukan itu bertambah ketika aku menempuh pendidikan strata dua dan tigaku berturut-turut di luar negeri. Kami membutuhkan diskusi panjang lebar dan berbulan-bulan sebelum Wijaya mengizinkanku pergi. Kuingat kata-katanya yang terakhir kala itu.
"Ok, pergilah, Mah. Tidak pantas Papah mencegah kepergian Mamah jika memang kecerdasan Mamah dan ketrampilan yang Mamah miliki bisa membantu kemaslahatan dakwah dan umat Islam. Tetapi Papah tetap akan terus diperhatikan, bukan?"
Tak terasa ada yang dingin menyembul pada ujung mataku. Membuat pandanganku mengabur, sehingga aku tidak bisa menikmati lukisan awan berserabut pada jendela. Aku menangis. "Maafkan aku, Mas"
"Maah," sebuah panggilan membuyarkan lamunanku.
"Adi, masuk, masuk sayang," kupersilakan si Bungsu masuk ke dalam kamarku.
"Bulik Sholihah ingin bertemu, boleh?" tanyanya ketika memasuki kamar dan duduk di tepi ranjangku.
Aku terdiam. Segala yang sunyi berubah menjadi gempita yang guruh dalam dadaku. Ia, perempuan itu mau menemuiku? Betapa beraninya ia? Logika ilmiahku kupaksa untuk memasung perasaanku yang tidak nalar. Mencemburui seseorang yang sudah tiada adalah perilaku yang paling bodoh.
"Ya tentu, tentu saja boleh," aku seperti tidak bisa mendengar suaraku sendiri. Seperti datang dari dunia yang aku tidak mengerti. Aku tidak kuasa menatap matanya. Perempuan itu. Maka tatapanku lurus menembus tubuhnya, meneropong nadi darah dan serabut kulitnya, lalu terhenti pada jarak yang jauh. Aku tidak kuasa menatap matanya, sebab aku menemukan mata suamiku di sana.
"Maafkan, maafkan saya, Bu. Saya tidak bermaksud me.. melukai keluarga ini dengan muncul di pemakaman."
"Panggil.. panggil saya 'Mbak' saja. Ya, panggil saya 'Mbak'," kataku sambil menyimpan gemuruh.
"Bapak Wijaya sangat mencintai Ibu, beliau hanya sebulan sekali menginap di rumah kami. Beliau sangat membantu keluarga kami. Beliau menopang ekonomi kami sehingga penderitaan kami terkurangi."
Ia tetap saja memanggilku 'Ibu'.
"Apakah.. apakah kamu memiliki anak?" tanyaku tiba-tiba.
Perempuan itu terkesiap. Aku menanyakan hal itu sebab boleh jadi sang anak akan menanyakan hak-haknya atas suamiku setelah ia meninggal. Aspek hukum sangat kufahami.
"Pu.. punya.. tetapi, tetapi saya dan anak perempuan saya tidak akan meminta apa-apa atas hak waris Bapak, sebab.. sebab seluruh hidup kami selama Bapak masih hidup telah tertopang dengan baik," buru-buru Sholihah menjelaskan seakan ia takut aku menuduhnya hendak mengambil hak warisnya.
"Bapak sangat menyayangimu ya?" aku mengalihkan perhatian.
"Ia sangat mencintai, Ibu," jawabnya.
"Berapa usia Bapak ketika menikahimu, Sholihah?"
"Lima puluh empat, Bu."
Hatiku bergetar. Wijaya, suamiku, sudah terkena diabetes akut sejak usia lima puluh tahun, ia sudah tidak mampu lagi berfungsi penuh sebagaimana laki-laki sehat. Walaupun tubuhnya masih gagah.
Aku tercekat. Memaknai betapa kerdil jiwaku dan betapa mulia Wijaya. Mengangkat seorang janda sebab ingin memuliakannya, bukan karena kenikmatan semata.
"Apa yang Bapak minta kalau mengunjungimu, Sholihah?" tanyaku.
"Hmmm, Bapak.. Bapak hanya minta dipijit, Bu," kata Sholihah pelan dan terbata.
Ada yang mengiris hatiku hingga berdarah-darah. Maafkan aku, Mas
Aku melengos mendengar kata-katanya.
"Kau pasti ikut menjadi sponsor pernikahan mereka. Aku merasa dikhianati, Han, kenapa setelah sekian tahun mereka menikah, aku dan anak-anak tidak diberitahu? Bahkan setelah dia meninggal!" sengatku.
"Wijaya mencintaimu Mara, teramat sangat"
"Omong kosong, jika memang cinta, mengapa harus membaginya dengan perempuan lain?"
"Justru karena ia mencintaimu dan tidak ingin melukaimu, ia menikahi Sholihah diam-diam."
"Logika macam apa itu Han??" sergahku nyaris terpekik.
"Sholihah perempuan janda yang ditinggal mati suaminya, sebab berjihad saat peristiwa DOM di Aceh. Wijaya bertemu dengannya saat menjemput dana dari Malaysia. Ia sempat mampir ke Aceh untuk memberikan sedikit bantuan. Sholihah begitu sederhana dan pantas untuk ditolong. Ia tidak menuntut apa-apa. Lagipula Wijaya menikahi Sholihah ketika ia sudah berusia lanjut, kenikmatan macam apa yang diharapkan pada pernikahan usia lanjut, kecuali ketentraman?"
"Maksudmu aku tidak bisa mendatangkan ketentraman pada suamiku?" sengatku sekali lagi.
Han mengangkat bahu. Sambil menggeleng-gelengkan kepala ia meninggalkan aku tanpa suara.
Sedikit yang kudengar dari gumamannya: dasar keras kepala.
Aku terdiam dan merenungi kata-kata Han yang terakhir. Ketentraman. Apakah artinya itu bagi suamiku? Apakah beristrikan seorang wanita karir seperti aku mendatangkan ketidaktentraman?
Kapan aku berhandai-handai bersama Wijaya menikmati masa tua? Akhir-akhir ini aku justru sibuk meraih gelar doktorku. Kapan terakhir aku bisa memijit tengkuk suamiku? Rasanya sudah lama sekali aku tidak melakukannya, sejak aku memutuskan untuk bekerja kembali pada sebuah penerbit majalah wanita yang memiliki deadline satu pekan sekali. Aku bahkan tidak sempat menemaninya minum teh pada sore hari sambil duduk-duduk di serambi.
Kemudian kesibukan itu bertambah ketika aku menempuh pendidikan strata dua dan tigaku berturut-turut di luar negeri. Kami membutuhkan diskusi panjang lebar dan berbulan-bulan sebelum Wijaya mengizinkanku pergi. Kuingat kata-katanya yang terakhir kala itu.
"Ok, pergilah, Mah. Tidak pantas Papah mencegah kepergian Mamah jika memang kecerdasan Mamah dan ketrampilan yang Mamah miliki bisa membantu kemaslahatan dakwah dan umat Islam. Tetapi Papah tetap akan terus diperhatikan, bukan?"
Tak terasa ada yang dingin menyembul pada ujung mataku. Membuat pandanganku mengabur, sehingga aku tidak bisa menikmati lukisan awan berserabut pada jendela. Aku menangis. "Maafkan aku, Mas"
"Maah," sebuah panggilan membuyarkan lamunanku.
"Adi, masuk, masuk sayang," kupersilakan si Bungsu masuk ke dalam kamarku.
"Bulik Sholihah ingin bertemu, boleh?" tanyanya ketika memasuki kamar dan duduk di tepi ranjangku.
Aku terdiam. Segala yang sunyi berubah menjadi gempita yang guruh dalam dadaku. Ia, perempuan itu mau menemuiku? Betapa beraninya ia? Logika ilmiahku kupaksa untuk memasung perasaanku yang tidak nalar. Mencemburui seseorang yang sudah tiada adalah perilaku yang paling bodoh.
"Ya tentu, tentu saja boleh," aku seperti tidak bisa mendengar suaraku sendiri. Seperti datang dari dunia yang aku tidak mengerti. Aku tidak kuasa menatap matanya. Perempuan itu. Maka tatapanku lurus menembus tubuhnya, meneropong nadi darah dan serabut kulitnya, lalu terhenti pada jarak yang jauh. Aku tidak kuasa menatap matanya, sebab aku menemukan mata suamiku di sana.
"Maafkan, maafkan saya, Bu. Saya tidak bermaksud me.. melukai keluarga ini dengan muncul di pemakaman."
"Panggil.. panggil saya 'Mbak' saja. Ya, panggil saya 'Mbak'," kataku sambil menyimpan gemuruh.
"Bapak Wijaya sangat mencintai Ibu, beliau hanya sebulan sekali menginap di rumah kami. Beliau sangat membantu keluarga kami. Beliau menopang ekonomi kami sehingga penderitaan kami terkurangi."
Ia tetap saja memanggilku 'Ibu'.
"Apakah.. apakah kamu memiliki anak?" tanyaku tiba-tiba.
Perempuan itu terkesiap. Aku menanyakan hal itu sebab boleh jadi sang anak akan menanyakan hak-haknya atas suamiku setelah ia meninggal. Aspek hukum sangat kufahami.
"Pu.. punya.. tetapi, tetapi saya dan anak perempuan saya tidak akan meminta apa-apa atas hak waris Bapak, sebab.. sebab seluruh hidup kami selama Bapak masih hidup telah tertopang dengan baik," buru-buru Sholihah menjelaskan seakan ia takut aku menuduhnya hendak mengambil hak warisnya.
"Bapak sangat menyayangimu ya?" aku mengalihkan perhatian.
"Ia sangat mencintai, Ibu," jawabnya.
"Berapa usia Bapak ketika menikahimu, Sholihah?"
"Lima puluh empat, Bu."
Hatiku bergetar. Wijaya, suamiku, sudah terkena diabetes akut sejak usia lima puluh tahun, ia sudah tidak mampu lagi berfungsi penuh sebagaimana laki-laki sehat. Walaupun tubuhnya masih gagah.
Aku tercekat. Memaknai betapa kerdil jiwaku dan betapa mulia Wijaya. Mengangkat seorang janda sebab ingin memuliakannya, bukan karena kenikmatan semata.
"Apa yang Bapak minta kalau mengunjungimu, Sholihah?" tanyaku.
"Hmmm, Bapak.. Bapak hanya minta dipijit, Bu," kata Sholihah pelan dan terbata.
Ada yang mengiris hatiku hingga berdarah-darah. Maafkan aku, Mas
Penulis: Izzatul Jannah
No comments:
Post a Comment
Jika postingan ini membantu ANDA, maka
TINGGALKAN KOMENTAR DI KOTAK YANG TELLAH DISEDIAKAN